Kamis, 21 Februari 2013

Keluarga Gila Selingkuh

Perasaan hari ini, kok nih rumah sepi-sepi aja ya”, ucapkku saat memasuki pintu rumah kakak ku Etna. Biasanya sebelum memasuki pagar rumah, sudah terdengar suara canda kedua bocah kecil yang menggemaskan, Kebiasaan Kedua ponakanku yang bermain ayunan, berlari dan bercanda di taman samping rumah. Aku pun clingak clingkuk mencari keberadaan manusia di rumah ini.

Sesampai di dapur, aku bertemu pembantu rumah, si ocah. “cah, pada kemana orang rumah, kok sepi amat ?”, ku langsung bertanya disaat si ocah lagi memasukan buah-buahan ke dalam lemari es. Si ocah membalas, “ibu lagi keluar sama didit dan nana, om bramr”. “Ohhhh begituu”, jawabku. “lalu mas herman kemana cah ? apa keluar juga , ini khan hari minggu ?” tanya ku lagi. “Gak tau om bram, bapak tadi lagi baca Koran di depan, lalu kemudian berendam di kolam renang , abis itu ocah gak tau kemana bapak sekarang. “ok Makasih ya cah”, kataku.

Tadinya ku berpikir langsung pulang saja, lantaran tujuan bertemu kedua ponakanku yang lucu gak kesampean. Tapi terdengar langkah orang menuruni tangga utama dari lantai satu. Aku pun menghampirinya terus menyapa “ehhh mas herman, apa kabar ?”, “baik!” katanya. “ngapain kamu ke sini?” dia malah bertanaya balik. “ya seperti biasa kan mas, nengok si didit dan nana mas”, aku pun langsung menjawab.

Dengan gerakan tanganya, dia mengajak ku duduk di ruamg tamu utama, Ada apa sih mas ? ga biasa rumah sepi begini” tanya ku. “hmmm Sebentar ya bramr” terus dia berteriak cukup keras “ocaaa mana minuman ku, sudah dibilangin di taruh di sini setiap hari”. Ocah pun berlari kedepan, langsung bertanya “ada apa lagi sih pak ? perlu apa lagi sih. Dari semalam saya tidak tidur dikerjain bapak terus, saya capek pak.” Kata-kata ocah yang membuat aku sedikit bingung dan bertanya-tanya didalam hati., memang diapain tuh ocah, dan berani amat dia sngejawab majikanya di depan tamu.. “sudah sana,..sana.. ambilkan saya dan mas bram minuman” perintah sang majikan Herman sontoloyo . Heheh sebel soalnya teriakannya kayak dihutan aja.

Selang beberapa menit, si ocah membawa kopi panas buat aku, sedangkan kepada mas her dia membawakan segelas susu ditambah telor setengah matang dan secangkir jamu. “nih pak, minum sampai habis, dan jangan diminta lagi, ocah capek”. Kata si ocah. “Ya sudah.. sana.. sana, ,” mas herman menimpal.

Tapi tunggu dulu.. saya baru sadar, kalau si ocah cepat sekali menukar pakaiannya , sebelum menghadap majikanya. Waktu aku ke dapur tadi, ocah pakai jeans dan t-shit kunung berlengan pendek. Nah.. barusan, tadi si kutu kupret berubah berganti penampilan dengan setelan rok jeans pendek yang ketat berikut yukensi, dan baunya harum sekali.

Ah… mungkin si ocah itu mau keluar nemuin pembantu tetangga, dalam hatiku.

30 Menit aku duduk di situ, kami hanya menonton TV tanpa mengeluarkan satu katahpun. Hanya sesekali ku denger secara samar-samar suara si ocah ngedumel di belakang. Perasaan ku mulai bosan, biasanya si sontoloyo ini banyak cerita, malah dia diam. Aku langsung mohon pamit sebentar ke kamar kecil.

Dengan santainya aku berjalan menuju kamar kecil, ku lihat pintu kamar anak-anak terbuka, lalu aku masuk sengaja untuk menaruh sedikit oleh-oleh buat mereka. Tapi tunggu dulu…ada yang membuat ku heran, ku amati satu persatu keadaan kamar anak-anak. Peralatan belajar, buku-buku, bahkan isi lemari pakaian pada gak ada. “wahh.. pasti ada yang gak beres ni” dalam hatiku …

Aku langsung menemui ocah, “eh cah, coba elu jelasin, kenapa kamar anak-anak seperti itu ? …hhmmm… gini om bram,, sambil mengibaskan rambutnya , lagak artis dadakan lagi. “Eh… cah ini seriuss!”, kata ku. Lalu dia berlari ke pojok ruangan “mungkin takut kali ya aku perkosa” (dalam atiku). “Cah jawab dong… kakakku dan keponakan ku kemana ?” ku tanaykan lagi dengan suara keras. Ocah kelihatan ketakutan dan berkata “ mas Bram ehhh om bram maaf, bapak menyuruh saya ndak boleh menceritakan hal ini ke siapa-siapa termasuk keluarga ibu” katanya ketakutan. “lho ada apa memangnya ? minggu kemarin aku ke sini khan ga ada apa-apa”, timpalku. Diapun menjatuhkan dirinya duduk di lantaai sambil menutup mukanya. “lho ada apa ini? Kenapa kamu menangis ?”. Ayoo ceritakan apa yang terjadi cah ?!” tanyaku dengan setengah memaksa. Terdengar suara isak namun masih terdengar jelas kata-katanya“ om bram… ocah udah ga tahan kerja di sini, tapi bapak ngelarang ocah keluar”, lalu kenapa kataku . dia pun melanjutkan ceritanya “ibu sama bapak sudah 6 bulan ini tidak tidur sekamar” . Lalu kenapa, kata ku lagi. Ocah pun menjelaskan, kalau kakaku pernah melihat mas herman sontoloyo itu sempat menggoda ocah saat menjemur pakaian.

Dari sejak itu, menurut laporan ocah, si etna gak mau lagi tidur sama suaminya. Dan setiap malam suaminya tidur di kamar tamu, dan selalu mengajak ocah tidur dengannya. Namun setiap jam 4 pagi ocah harus kembali ke kamarnya. Setelah ku Tanya, sudah berapa lama kejadian ini terjadi, menurut ocah, sudah sering kali selama 6 bulan belakangan in. (ooo pantess di suguhin susu, telor setengah mateng dan jamu tadi). “Wah dasar lelaki brengsek “ kata ku, Sambil mencari sesuatu untuk menghajar muka si sotoloyo itu. Namun ocahpun melarang saya untuk berbuat sesuatu terhadap mas herman. Akupun bertanya dengan nada marah, “kenapa gak boleh ?”. “Justeru ibu yang memulainya om bram”, Katanya. “apa ? kakak ku yang memulai ? kamu tadi bilang ibu memergoki kalian, sekarang kakaku yang disalahkan, mana yang benar”. Kata-kata ku semakin keras dan hati semakin panas. Sekali lagi ku paksakan ocah bercerita terus terang.

“begini om bram, ibu itu sering sekali keluar rumah sama teman kantornya, kalau gak salah namanya om dino, lalu bapak sempat mempergoki mereka di sebuah hotel di daerah menteng. Kejadiannya sudah lama, namun bapak diam saja dan pura-pura gak tahu. Selanjutnya hubunganya masih biasa-biasa saja, walaupun bapak tahu kalau setiap malam ibu sering keluar dengan om dino ke hotel.. Nah… setelah kejadian ibu memergoki bapak menggoda saya, terjadi pertengkaran mulut. Dan bapak akhirnya bercerita semua apa yang dia ketahui tentang hubungan ibu dengan om dino. Setelah itu bapak sempat bilang, kalau bapak mau tidur dengan saya untuk membalaskan sakit hatinya kepada ibu. Kata ibu, silahkan. Jadi hubungan saya sama bapak, ibu tahu kok om bram. Dan ibu juga tidak menghiraukan, karena setiap malam ibu juga keluar dengan om dino.” Katanya dengan raut muka serius namun masih menteskan air mata.

Kemudian aku bertanya lagi, “lalu kenapa anak-anak dan ibu keluar dari rumah ini, kapan kejadiannya ?”. Dia pun menjawab, “baru kemarin kok om bram, yang saya dengar ibu mau ngajak anak-anak liburan ke rumah om dino di singapura, dan bapak mengiyakan saja”

Aduh rasanya, mau ku hancurkan rumah ini rata dengan tanah. Tidak ada lagi moral, semuanya berprilaku bejad. dan biadab, Kepala rumah tangga, kakak sendiri sampai babu…. mungkin ntar lagi mau kiamat dunia ini. Kata-kata ku kesal lalu meninggalkannya.

Aku langsung mengambil ransel ku, dan meninggalkan rumah itu tanpa berpamitan sama si herman sontoloyo itu. Akupun berjanji tidak akan menginjakan kaki lagi di rumah neraka ini…..

Teryata Istriku Selingkuh

Suamiku tertidur di sebelahku, aku mengamati dan memandangnya… Ya Allah aku telah banyak menyakitinya, menghianatinya tanpa pernah dia tahu… Ya Allah betapa aku merasa diriku hina sekali dihadapannya. Aku tidak pantas memperlakukannya seperti ini…

Pembaca.. kisahku ini dimulai ketika aku diterima menjadi seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta di sebuah kotadi Kalimantan. Belum lama aku bekerja di perusahaan tersebut tepatnya baru 5 bulan, bosku memperkenalkan aku dengan sahabatnya.

Sahabat bosku ganteng, kaya, dewasa, pekerjaannya pun mapan, jika dibandingkan dengan pacarku atau lebih tepatnya bisa dibilang suamiku karena kita diam-diam sudah menikah sirih, tetapi perusahaan tidak pernah tahu kalau aku sudah menikah karena masa dinas yang tidak memperbolehkan karyawan menikah sebelum satu tahun bekerja. Suamiku hanya seorang admin di sebuah perusahaan asuransi dan masih menyelesaikan kuliahnya, jika dibandingkan dengan sahabat bosku yang sudah mapan, kaya, dan ganteng itu sungguh sangat jauh berbeda.

Awalnya aku menolak menerima cinta sahabat bosku tersebut, dengan menangis-nangis dia memohon agar aku mau menerima cintanya. Tapi memang awalnya aku belum tertarik padanya, aku merasa tahu diri bahwa aku sudah bersuami dan aku sangat mencintai suamiku itu, dengan membayangkan masa-masa dulu bahagia dengan cinta yang kami bina.

Tetapi dengan penuh cinta, sahabat bosku tersebut berusaha terus mendekatiku. Dia menelpon, sms, menghubungiku melalui Facebook, dan dengan cara-cara lainnya. Meskipun dia jauh di Jakarta, tetapi tidak memupuskan semangatnya untuk mengejarku. Tanpa disadari aku mulai kehilangan dia ketika dia sehari saja tak menghubungiku, aku merindukannya ketika sejam saja dia terlambat menanyakan aku apa sudah makan siang atau belum, aku merasa nyaman dengan kedewasaanya, kasih sayangnya, dan semua perlakuannya kepadaku.

Pada suatu hari kami bersepakat untuk bertemu, dia bela-belain ke Kalimantan hanya untuk menemuiku. Dia utarakan niatnya untuk memperistriku tapi karena aku juga mulai mencintainya akupun berniat memilihnya untuk menjadi suamiku yang sebenarnya. Aku berniat untuk meminta cerai talak kepada suamiku yang sekarang. Tapi karena aku tahu bahwa aku sudah tidak perawan karena aku sudah menikah sirih dengan suamiku yang sekarang. Kuceritakan kondisi diriku yang sebenarnya kepada sahabat bosku tersebut.

Dia menangis seolah tidak terima bahwa seseorang yang sangat dicintainya dan dipilih untuk menjadi istrinya tidak sesuai dengan kriteria dirinya dan keluarganya. Dia bilang kalau dia pribadi bisa menerima aku apa adanya karena dia sangat mencintaiku, tapi untuk memperkenalkan aku kepada keluarganya dia bilang belum bisa dan belum sanggup melakukannya.

Dia tak tahu apakah keluarganya mau menerimaku atau tidak jika calon menantunya adalah seorang janda. Karena di dalam keluarganya harga diri, nama baik, status sosial, bibit, bebet, dan bobot adalah sangat menjadi pertimbangan.

Aku sangat kecewa dengannya, aku berusaha melupakannya setelah pertemuan itu, tetapi tidak kusangka dia tetap menelponku meski dia tahu bahwa aku tidak seperti yang dia mau. Dia tetap berusaha menjaga hubungan cinta kami. Lama kelamaan aku menyadari bahwa dia memang benar-benar mencintaiku. Aku tidak pernah merasakan cinta seperti dia mencintaiku, mengagumiku. Aku merasa menjadi wanita yang paling cantik dan sempurna di dunia karena dicintai seseorang pria dewasa seperti dia.

Akhirnya kita tetap berhubungan, tak ayal berhubungan badanpun sudah menjadi suatu kebutuhan dan sebuah ungkapan untuk kami melepas rindu. Meski jarak memisahkan kami tetapi tidak memupuskan semangat kami untuk memadu cinta. Sebulan sekali kami pasti bertemu, entah dia yang ke Kalimantan atau aku yang ke Jakarta hanya untuk menemuinya. Meski aku harus berbohong kepada keluarga besarku dan suamiku soal seringnya aku harus keluar kota. Aku selalu membuat alasan kalau aku mendapat tugas dinas keluar kota dari kantor. Dengan penuh kesabaran suamiku selalu mengantarkan aku ke bandara jika aku mau ke jakarta dan menjeputku lagi di bandara saat aku kembali ke Kalimantan.

Hari demi hari, bulan demi bulan pun berlalu, kami terus memadu kasih melalui dunia maya, handpone dan sebagainya. Suatu hari keluargaku berniat menikahkan aku secara resmi dengan suamiku, aku bingung harus berbuat apa. Sedangkan aku sudah tidak mencintainya lagi, semua sudah pudar seiring berjalannya waktu. Tetapi aku pun tidak pernah mendapat kepastian dari sahabat bosku itu tentang hubungan kami.

Hubunganku dengan sahabat bosku yang tidak tahu kemana akan dibawa membuatku berpikir dua kali. Sampai kapan aku terus mengharapkannya, sedangkan dia seolah lebih mencintai keluarganya dibanding aku. Meskipun dia rela melakukan apa saja untukku tapi tidak untuk menentang keluarganya demi aku.

Akhirnya aku memutuskan untuk menjalani pernikahan resmiku bersama suamiku. Meski cintaku kepadanya sudah tidak seperti dahulu lagi tapi aku tidak ada pilihan lain. Daripada aku menunggu selikuhanku yang tidak pernah ada kepastian. Dan akhirnya aku pun menikah resmi.

Sahabat bosku itu terus menelponku dan menangis, dia merasa dia juga tidak bisa berbuat apa-apa atas kehidupannya bersamaku. Tapi entah mengapa aku merasa nyaman, tenang, dan bahagia atas pernikahan resmiku bersama suamiku. Meski cintaku tidak lagi sepenuhnya seperti dahulu.

Hari demi hari aku lalui dengan berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik di depan suamiku meski aku tidak setia kepadanya. Hubunganku dengan selingkuhanku pun terus berlanjut, tak berbeda dengan sebelum aku menikah kami tetap saling mengunjungi entah aku ke Jakarta atau dia yang ke kalimantan. Dia tetap mencintaiku seperti dulu, tidak berubah. Dia tetap mengagumiku, memujaku seperti dulu, bahkan kami sempat untuk berencana memiliki anak. Kami terus berusaha untuk bisa segera punya anak, sama seperti suamiku yang ingin segera memiliki anak dari pernikahan kami.

Satu bulan, dua bulan, akhirnya bulan keempat pun tiba. Aku merasa tidak mendapatkan haid di bulan itu. Seminggu setelahnya aku periksa kedokter ternyata hasilnya positif, iya aku hamil. Meski aku belum tahu anak siapa yang aku kandung tapi berita ini membuat kedua laki-laki yang sama-sama mencintaiku itu sangat bahagia.

Tapi entah kenapa aku tidak yakin kalau ini anak selingkuhanku, karena dilihat dari frekuwensi kami bertemu hanya sebulan sekali, meski setiap kali kami bertemu kami pasti berhubungan badan. Pernah suatu hari selingkuhanku menanyakan kepastian siapa bapak dari anak yang aku kandung, tapi aku meyakinkan dia bahwa untuk tidak terlalu berharap karena menurutku labih baik dia kecewa sekarang daripada nanti setelah aku melahirkan, dia lebih kecewa lagi ketika dia tahu bahwa si kecil ngga mirip dia.

Hari ke hari, bulan ke bulan, sampe akhirnya tiba waktu aku melahirkan. Suamiku yang setia menungguiku dari awal aku merasa kesakitan sampai saatnya aku bertaruh nyawa melahirkan anakku, anakku yang aku belum tahu siapa bapaknya. Dari pagi sampai pagi lagi suamiku dengan sabar mendampingiku, memberiku support dan semangat. Sampai dia tertidur di sebelahku, aku mengamatinya dan memandangnya ya Allah aku telah banyak menyakitinya, menghianatinya tanpa pernah dia tahu. Seandainya dia tahu perbuatanku yang sangat bejat ini mungkin dia tidak akan pernah mau melihat mukaku lagi dan mungkin aku akan kehilangan laki-laki yang sangat setia dan baik ini.

Rasa ibaku muncul, tiba-tiba aku ingat masa-masa dulu aku bersamanya merajut cinta. Susah senang kami jalani bersama tanpa mengeluh. Cintaku kembali bersemi untuk suamiku, rasa iba itu membawaku kembali mencintainya, menyayanginya, ya Allah betapa aku merasa diriku hina sekali dihadapannya. Aku tidak pantas memperlakukannya seperti itu. Ternyata aku sadari bahwa masih ada setitik rasa cinta untuk suamiku.

Akhirnya aku pun melahirkan buah hatiku, yang banyak orang menantinya. Dia cantik, putih bersih, mungil. Wajahnya mirip sekali denganku, tetapi bentuk tubuhnya mirip sekali dengan ayahnya, ya! Ayahnya yang tegap, tinggi besar, dan bertulang besar, dia adalah suamiku. Suamiku yang sah yang akupun mulai mencintainya lagi, menyayanginya. Ternyata bapak dari anakku adalah suamiku yang sah, entah kenapa pula aku sangat bahagia mengetahui bahwa ayah kandung dari anakku adalah suamiku sendiri, suami yang sah, yang aku khianati sejak lama.

Akupun menelpon selingkuhanku untuk memberi tahu kabar baik ini kepadanya, meski belum tentu ini adalah kabar menggembirakan buat dia. Setelah kuberi tahu, dia seolah sudah siap atas segala kemungkinan yang akan terjadi, kemungkinan bahwa si mungil cantikku itu bukanlah keturunanya. Kami sempat berkomunikasi melalui video call di rumah sakit, dan akupun menunjukkan si kecil padanya.

Dia tetap bahagia meski dia tahu bahwa anakku bukan darah dagingnya. dia selalu menanyakan kabar anakku setiap dia menelponku. Dia juga ikut cemas jika si kecil sakit. Bahkan dia mengirimkan kado istimewa untuk si kecil. Aku tidak pernah tahu terbuat dari apakah cintanya buatku. Seperti apapun kondisiku dia tetap mencintaiku dan memujaku.

Tapi aku kini telah sadar, aku mulai mencintai suamiku lagi, mulai menyayanginya lagi. Dan aku pun mulai jarang menghubungi selingkuhanku. Tapi meski begitu dia tidak pernah putus asa untuk selalu menjalin hubungan baik denganku. Baginya meskipun dia tidak bisa memilikiku paling tidak dia tetap bisa berteman denganku, tahu kabarku. Bahkan dia mengirimkan uang untuk kado si kecil. Membelikan boneka saat dia ke kotaku di kalimantan. Aku sangat menghargai cintanya buatku, tapi aku sadar bahwa aku sudah bersuami dan bahkan sekarang ada si kecil yang selalu membuatku sadar akan kodratku dan statusku.

Aku menyanyangimu Suamiku.. meski di hatiku sudah terbagi dengan yang lain meski secuil. Maafkan aku, tapi aku berjanji aku tidak akan meninggalkan kalian suamiku dan anakku, kalian tetap nomor satu bagiku. Aku mencintai kalian, kalian adalah semangat hidupku.

Rabu, 20 Februari 2013

Ngentok Dengan Anak Ibu Kost

Namaku Boby Waktu itu usiaku 22 tahun. Aku duduk di tingkat akhir suatu perguruan tinggi teknik di kota Solo. Wajahku ganteng. Badanku tinggi , mungkin karena aku selalu berolahraga seminggu tiga kali. Teman-¬temanku bilang, kalau aku bermobil pasti banyak cewek yang dengan sukahati menempel padaku. Aku sendiri sudah punya pacar. Kami pacaran secara serius. Baik orang tuaku maupun orang tuanya sudah setuju.


Tempat kos-ku dan tempat kosannya hanya berjarak sekitar 400 m. Aku sendiri sudah dipegangi kunci kamar kosnya. Walaupun demikian bukan berarti aku sudah berpacaran tanpa batas dengannya. Dalam masalah pacaran, kami sudah saling cium-ciuman, gumul-gumulan, dan remas-remasan. Namun semua itu kami lakukan dengan masih berpakaian. walaupun hanya begitu, kalau “voltase’-ku sudah amat tinggi, aku dapat ‘muntah” juga. Dia adalah seorang yang menjaga keperawanan sampai dengan menikah, karena itu dia tidak mau berhubungan sex sebelum menikah. Aku menghargai prinsipnya tersebut. Karena aku belum pernah pacaran sebelumnya, maka sampai saat itu aku belum pernah merasakan berhubungan intim 
Pacarku seorang anak bungsu. Kecuali kolokan, dia juga seorang penakut, sehingga sampai jam 10 malam minta ditemani. Sehabis mandi sore, aku pergi ke kosnya. Sampai dia berangkat tidur. aku belajar atau menulis tugas akhir dan dia belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di ruang tamu. Kamar kos-nya sendiri berukuran cukup besar, yakni 4mX6m. Kamar sebesar itu d menjadi ruang tamu dengan ukuran 3mX2.5m dan ruang tidur dengan ukuran 3mX3.5m. Lobang pintu di antara kedua ruang itu hanya ditutup dengan kain korden.

lbu kost-nya mempunyai empat anak, semua perempuan. Semua manis-manis sebagaimana kebanyakan perempuan Sunda. Anak yang pertama sudah menikah, anak yang kedua duduk di kelas 3 SMA, anak ketiga kelas I SMA, dan anak bungsu masih di SD. Menurut desas-desus yang sampai di telingaku, menikahnya anak pertama adalah karena hamil duluan. Kemudian anak yang kedua pun sudah mempunyai prestasi. Nama panggilannya Ren. Dia dikabarkan sudah pernah hamil dengan pacarya, namun digugurkan. Menurut penilaianku, Ren seorang playgirl. Walaupun sudah punya pacar, pacarnya kuliah di suatu politeknik, namun dia suka mejeng dan menggoda laki-laki lain yang kelihatan keren. Kalau aku datang ke kos pacarku, dia pun suka mejeng dan bersikap genit dalam menyapaku.

Reni memang mojang Sunda yang amat aduhai. Usianya akan 18 tahun. Tingginya 160 cm. Kulitnya berwarna kuning langsat dan kelihatan licin. Badannya kenyal dan berisi. Pinggangnya ramping. Buah dadanya padat dan besar membusung. Pinggulnya besar, kecuali melebar dengan indahnya juga pantatnya membusung dengan montoknya. Untuk gadis seusia dia, mungkin payudara dan pinggul yang sudah terbentuk sedemikian indahnya karena terbiasa dinaiki dan digumuli oleh pacarnya. Paha dan betisnya bagus dan mulus. Lehernya jenjang. Matanya bagus. Hidungnya mungil dan sedikit mancung. Bibirnya mempunyai garis yang sexy dan sensual, sehingga kalau memakai lipstik tidak perlu membuat garis baru, tinggal mengikuti batas bibir yang sudah ada. Rambutnya lebat yang dipotong bob dengan indahnya.

Sore itu sehabis mandi aku ke kos pacarku seperti biasanya. Di teras rumah tampak Reni sedang mengobrol dengan dua orang adiknya. Reni mengenakan baju atas ‘you can see’ dan rok span yang pendek dan ketat sehingga lengan, paha dan betisnya yang mulus itu dipertontonkan dengan jelasnya.

“Mas Bob, ngapel ke Mbak Dina? Wah... sedang nggak ada tuh. Tadi pergi sama dua temannya. Katanya mau bikin tugas,” sapa Reni dengan centilnya.

“He... masa?” balasku.

“Iya... Sudah, ngapelin reni sajalah Mas Bob,” kata Reni dengan senyum menggoda. Edan! Cewek Sunda satu ini benar-benar menggoda hasrat. Kalau mau mengajak beneran aku tidak menolak nih, he-he...

“Ah, neng Reni macam-macam saja...,” tanggapanku sok menjaga wibawa. “Kak Dai belum datang?”

Pacar Reni namanya Daniel, namun Reni memanggilnya Kak Dai. Mungkin Dai adalah panggilan akrab atau panggilan masa kecil si Daniel. Daniel berasal dan Bogor. Dia ngapeli anak yang masih SMA macam minum obat saja. Dan pulang kuliah sampai malam hari. Lebih hebat dan aku, dan selama ngapel waktu dia habiskan untuk ngobrol. Atau kalau setelah waktu isya, dia masuk ke kamar Reni. Kapan dia punya kesempatan belajar?

“Wah... dua bulan ini saya menjadi singgel lagi. Kak Dai lagi kerja praktek di Riau. Makanya carikan teman Mas Bob buat menemani Reni dong, biar ren tidak kesepian... Tapi yang keren lho,” kata reni dengan suara yang amat manja. Edan si playgirl Sunda mi. Dia bukan tipe orang yang ngomong begitu bukan sekedar bercanda, namun tipe orang yang suka nyerempet-nyerempet hat yang berbahaya.

“Neng Reni ini... Nanti Kak Dainya ngamuk dong.”

“Kak Dai kan tidak akan tahu...”

Aku kembali memaki dalam hati. Perempuan Sunda macam Reni ini memang enak ditiduri. Enak digenjot dan dinikmati kekenyalan bagian-bagian tubuhnya.

Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar kos Dina. Di atas meja pendek di ruang tamu ada sehelai memo dari Dina. Sambil membuka jendela ruang depan dan ruang tidur, kubaca isi memo tadi. ‘Mas Bobby, gue ngerjain tugas kelompok bersama Niken dan Wiwin. Tugasnya banyak, jadi gue malam ini tidak pulang. Gue tidur di rumah Wiwin. Di kulkas ada jeruk, ambil saja. Soen sayang, Dina’

Aku mengambil bukuku yang sehari-harinya kutinggal di tempat kos Di. Sambil menyetel radio dengan suara perlahan, aku mulai membaca buku itu. Biarlah aku belajar di situ sampai jam sepuluh malam.

Sedang asyik belajar, sekitar jam setengah sembilan malam pintu diketok dan luar. Tok-tok-tok...

Kusingkapkan korden jendela ruang tamu yang telah kututup pada jam delapan malam tadi, sesuai dengan kebiasaan pacarku. Sepertinya Reni yang berdiri di depan pintu.

“Mbak Di... Mbak Dina...,” terdengar suara Reni memanggil-manggil dan luar. Aku membuka pintu.

“Mbak Dina sudah pulang?” tanya Reni.

“Belum. Hari ini Dina tidak pulang. Tidur di rumah temannya karena banyak tugas. Ada apa?”

“Mau pinjam kalkulator, mas Bob. Sebentar saja. Buat bikin pe-er.”

“Ng... bolehlah. Pakai kalkulatorku saja, asal cepat kembali.”

“Beres deh mas Bob. Reni berjanji,” kata Reni dengan genit. Bibirnya tersenyum manis, dan pandang matanya menggoda menggemaskan.

Kuberikan kalkulatorku pada Reni. Ketika berbalik, kutatap tajam-tajam tubuhnya yang aduhai. Pinggulnya yang melebar dan montok itu menggial ke kiri-kanan, seolah menantang diriku untuk meremas¬-remasnya. Sialan! Kontholku jadi berdiri. Si ‘boy-ku ini responsif sekali kalau ada cewek cakep yang enak digenjot.

sesaat aku tidak dapat berkonsentrasi. Namun kemudian kuusir pikiran yang tidak-tidak itu. Kuteruskan kembali membaca textbook yang menunjang penulisan tugas sarjana itu.

Tok-tok-tok! Baru sekitar limabelas menit pintu kembali diketok.

“Mas Bob... Mas Bob...,” terdengar Reni memanggil lirih.

Pintu kubuka. Mendadak kontholku mengeras lagi. Di depan pintu berdiri Reni dengan senyum genitnya. Bajunya bukan atasan ‘you can see’ yang dipakai sebelumnya. Dia menggunakan baju yang hanya setinggi separuh dada dengan ikatan tali ke pundaknya. Baju tersebut berwarna kuning muda dan berbahan mengkilat. Dadanya tampak membusung dengan gagahnya, yang ujungnya menonjol dengan tajam dan batik bajunya. Sepertinya dia tidak memakai BH. Juga, bau harum sekarang terpancar dan tubuhnya. Tadi, bau parfum harum semacam ini tidak tercium sama sekali, berarti datang yang kali ini si Reni menyempatkan diri memakai parfum. Kali ini bibirnya pun dipolesi lipstik pink.

“Ini kalkulatornya, Mas Bob,” kata Reni manja, membuyarkan keterpanaanku.

“Sudah selesai. Neng Ren?” tanyaku basa-basi.

“Sudah Mas Bob, namun boleh Reni minta diajari Matematika?”

“0, boleh saja kalau sekiranya bisa.”

Tanpa kupersilakan Reni menyelonong masuk dan membuka buku matematika di atas meja tamu yang rendah. Ruang tamu kamar kos pacarku itu tanpa kursi. Hanya digelari karpet tebal dan sebuah meja pendek dengan di salah satu sisinya terpasang rak buku. Aku pun duduk di hadapannya, sementara pintu masuk tertutup dengan sendirinya dengan perlahan. Memang pintu kamar kos pacarku kalau mau disengaja terbuka harus diganjal potongan kayu kecil.

“Ini mas Bob, Reni ada soal tentang bunga majemuk yang tidak tahu cara penyelesaiannya.” Reni mencari-cari halaman buku yang akan ditanyakannya.

Menunggu halaman itu ditemukan, mataku mencari kesempatan melihat ke dadanya. Amboi! Benar, Reni tidak memakai bra. Dalam posisi agak menunduk, kedua gundukan payudaranya kelihatan sangat jelas. Sungguh padat, mulus, dan indah. Kontholku terasa mengeras dan sedikit berdenyut-denyut.

Halaman yang dicari ketemu. Reni dengan centilnya membaca soal tersebut. Soalnya cukup mudah. Aku menerangkan sedikit dan memberitahu rumusnya, kemudian Reni menghitungnya. Sambil menunggu Reni menghitung, mataku mencuri pandang ke buah dada Reni. 

“Kok sepi? Mamah, Ema, dan Nur sudah tidur?” tanyaku sambil menelan ludah. Kalau bapaknya tidak aku tanyakan karena dia bekerja di Cirebon yang pulangnya setiap akhir pekan.

“Sudah. Mamah sudah tidur jam setengah delapan tadi. Kemudian Erna dan Nur berangkat tidur waktu Reni  bermain-main kalkulator tadi,” jawab Reni dengan tatapan mata yang menggoda.

Hasratku mulai naik. Kenapa tidak kusetubuhi saja si Reni. Mumpung sepi. Orang-orang di rumahnya sudah tidur. Kamar kos sebelah sudah sepi dan sudah mati lampunya. Berarti penghuninya juga sudah tidur. Kalau kupaksa dia meladeni hasratku, tenaganya tidak akan berarti dalam melawanku. Tetapi mengapa dia akan melawanku? jangan-jangan dia ke sini justru ingin bersetubuh denganku. Soal tanya Matematika, itu hanya sebagai atasan saja. Bukankah dia menyempatkan ganti baju, dari atasan you can see ke atasan yang memamerkan separuh payudaranya? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan tidak memakai bra? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan memakai parfum dan lipstik? Apa lagi artinya kalau tidak menyodorkan din?

Tiba-tiba Reni bangkit dan duduk di sebelah kananku.

“Mas Bob... ini benar nggak?” tanya Reni.

Ada kekeliruan di tengah jalan saat Reni menghitung. Antara konsentrasi dan menahan nafsu yang tengah berkecamuk, aku mengambil pensil dan menjelaskan kekeliruannya. Tiba-tiba Reni lebih mendekat ke arahku, seolah mau memperhatikan hal yang kujelaskan dan jarak yang lebih dekat. Akibatnya... gumpalan daging yang membusung di dadanya itu menekan lengan tangan kananku. Terasa hangat dan lunak, namun ketika dia lebih menekanku terasa lebih kenyal.

Dengan sengaja lenganku kutekankan ke payudaranya.

“Ih... Mas Bob nakal deh tangannya,” katanya sambil merengut manja. Dia pura-pura menjauh.

“Lho, yang salah kan Neng Reni duluan. Buah dadanya menyodok-nyodok lenganku,” jawabku.

Reni cemberut. Dia mengambil buku dan kembali duduk di hadapanku. Dia terlihat kembali membetulkan yang kesalahan, namun menurut perasaanku itu hanya berpura-pura saja. Aku merasa semakin ditantang. Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku impoten? Dia sudah berani datang ke sini malam-malam sendirian. Dia menyempatkan pakai parfum. Dia sengaja memakai baju atasan yang memamerkan gundukan payudara. Dia sengaja tidak pakai bra. Artinya, dia sudah mempersilakan diriku untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Tinggal aku yang jadi penentunya, mau menyia-siakan kesempatan yang dia berikan atau memanfaatkannya. Kalau aku menyia-siakan berarti aku band!

Aku pun bangkit. Aku berdiri di atas lutut dan mendekatinya dari belakang. Aku pura-pura mengawasi dia dalam mengerjakan soal. Padahal mataku mengawasi tubuhnya dari belakang. Kulit punggung dan lengannya benar-benar mulus, tanpa goresan sedikitpun. Karena padat tubuhnya, kulit yang kuning langsat itu tampak licin mengkilap walaupun ditumbuhi oleh bulu-bulu rambut yang halus.

Kemudian aku menempelkan kontholku yang menegang ke punggungnya. Reni sedikit terkejut ketika merasa ada yang menempel punggungnya.

“Ih... Mas Bob jangan begitu dong...,” kata Reni manja.

“Sudah... udah-udah... Aku sekedar mengawasi pekerjaan Neng Reni,” jawabku.

Reni cemberut. Namun dengan cemberut begitu, bibir yang sensual itu malah tampak menggemaskan. Sungguh sedap sekali bila dikulum-kulum dan dilumat-lumat. Reni berpura-pura meneruskan pekerjaannya. Aku semakin berani. Kontholku kutekankan ke punggungnya yang kenyal. Reni menggelinjang. Tidak tahan lagi. tubuh Reni kurengkuh dan kurebahkan di atas karpet. Bibirnya kulumat-lumat, sementara kulit punggungnya kuremas-remas. Bibir Reni mengadakan perlawanan, mengimbangi kuluman-¬kuluman bibirku yang diselingi dengan permainan lidahnya. Terlihat bahkan dalam masalah ciuman Reni yang masih kelas tiga SMA sudah sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiranku.

Beberapa saat kemudian ciumanku berpindah ke lehernya yang jenjang. Bau harum terpancar dan kulitnya. Sambil kusedot-sedot kulit lehernya dengan hidungku, tanganku berpindah ke buah dadanya. Buah dada yang tidak dilindungi bra itu terasa kenyal dalam remasan tanganku. Kadang-kadang dan batik kain licin baju atasannya, putingnya kutekan-tekan dan kupelintir-pelintir dengan jari-jari tanganku. Puting itu terasa mengeras.

“Mas Bob Mas Bob buka baju saja Mas Bob...,” rintih Reni. Tanpa menunggu persetujuanku, jari-jari tangannya membuka Ikat pinggang dan ritsleteng celanaku. Aku mengimbangi, tall baju atasannya kulepas dan baju tersebut kubebaskan dan tubuhnya. Aku terpana melihat kemulusan tubuh atasnya tanpa penutup sehelai kain pun. Buah dadanya yang padat membusung dengan indahnya. Ditimpa sinar lampu neon ruang tamu, payudaranya kelihatan amat mulus dan licin. Putingnya berdiri tegak di ujung gumpalan payudara. Putingnya berwarna pink kecoklat-coklatan, sementara puncak bukit payudara di sekitarnya berwarna coklat tua dan sedikit menggembung dibanding dengan permukaan kulit payudaranya.

Celana panjang yang sudah dibuka oleh Reni kulepas dengan segera. Menyusul. kemeja dan kaos singlet kulepas dan tubuhku. Kini aku cuma tertutup oleh celana dalamku, sementara Reni tertutup oleh rok span ketat yang mempertontonkan bentuk pinggangnya yang ramping dan bentuk pinggulnya yang melebar dengan bagusnya. Reni pun melepaskan rok spannya itu, sehingga pinggul yang indah itu kini hanya terbungkus celana dalam minim yang tipis dan berwarna pink. Di daerah bawah perutnya, celana dalam itu tidak mampu menyembunyikan warna hitam dari jembut lebat Reni yang terbungkus di dalamnya. Juga, beberapa helai jembut Reni tampak keluar dan lobang celana dalamnya.

Reni memandangi dadaku yang bidang. Kemudian dia memandang ke arah kontholku yang besar dan panjang, yang menonjol dari balik celana dalamku. Pandangan matanya memancarkan nafsu yang sudah menggelegak. Perlahan aku mendekatkan badanku ke badannya yang sudah terbaring pasrah. Kupeluk tubuhnya sambil mengulum kembali bibirnya yang hangat.Reni pun mengimbanginya. Dia memeluk leherku sambil membalas kuluman di bibirnya. Payudaranya pun menekan dadaku. Payudara itu terasa kenyal dan lembut. Putingnya yang mengeras terasa benar menekan dadaku. Aku dan Reni saling mengulum bibir, saling menekankan dada, dan saling meremas kulit punggung dengan penuh nafsu.

Ciumanku berpindah ke leher Reni. Leher mulus yang memancarkan keharuman parfum yang segar itu kugumuli dengan bibir dan hidungku. Reni mendongakkan dagunya agar aku dapat menciumi segenap pori-pori kulit lehernya.

“Ahhh... Mas Bob... Reni sudah menginginkannya dan kemarin... Gelutilah tubuh Reni... puasin Ika ya Mas Bob...,” bisik Reni terpatah-patah.

Aku menyambutnya dengan penuh antusias. Kini wajahku bergerak ke arah payudaranya. Payudaranya begitu menggembung dan padat. namun berkulit lembut. Bau keharuman yang segar terpancar dan pori-porinya. Agaknya Reni tadi sengaja memakai parfum di sekujur payudaranya sebelum datang ke sini. Aku menghirup kuat-kuat lembah di antara kedua bukit payudaranya itu. Kemudian wajahku kugesek-gesekkan di kedua bukit payudara itu secara bergantian, sambil hidungku terus menghirup keharuman yang terpancar dan kulit payudara. Puncak bukit payudara kanannya pun kulahap dalam mulutku. Kusedot kuat-kuat payudara itu sehingga daging yang masuk ke dalam mulutku menjadi sebesar-besarnya.Reni menggelinjang.

“Mas Bob... ngilu... ngilu...,” rintih Reni.

Gelinjang dan rintihan Reni itu semakin membangkitkan hasratku. Kuremas bukit payudara sebelah kirinya dengan gemasnya, sementara puting payudara kanannya kumainkan dengan ujung lidahku. Puting itu kadang kugencet dengan tekanan ujung lidah dengan gigi. Kemudian secara mendadak kusedot kembali payudara kanan itu kuat-kuat. sementara jari tanganku menekan dan memelintir puting payudara kirinya.Reni semakin menggelinjang-gelinjang seperti ikan belut yang memburu makanan sambil mulutnya mendesah-desah.

“Aduh mas Booob... ssshh... ssshhh... ngilu mas Booob... ssshhh... geli... geli...,” cuma kata-kata itu yang berulang-ulang keluar dan mulutnya yang merangsang.

Aku tidak puas dengan hanya menggeluti payudara kanannya. Kini mulutku berganti menggeluti payudara kiri. sementara tanganku meremas-remas payudara kanannya kuat-kuat. Kalau payudara kirinya kusedot kuat-kuat. tanganku memijit-mijit dan memelintir-pelintir puting payudara kanannya. Sedang bila gigi dan ujung lidahku menekan-nekan puting payudara kiri, tanganku meremas sebesar-besarnya payudara kanannya dengan sekuat-kuatnya.

“Mas Booob... kamu nakal.... ssshhh... ssshhh... ngilu mas Booob... geli...” Reni tidak henti-hentinya menggelinjang dan mendesah manja.

Setelah puas dengan payudara, aku meneruskan permainan lidah ke arah perut Reni yang rata dan berkulit amat mulus itu. Mulutku berhenti di daerah pusarnya. Aku pun berkonsentrasi mengecupi bagian pusarnya. Sementara kedua telapak tanganku menyusup ke belakang dan meremas-remas pantatnya yang melebar dan menggembung padat. Kedua tanganku menyelip ke dalam celana yang melindungi pantatnya itu. Perlahan¬-lahan celana dalamnya kupelorotkan ke bawah. Reni sedikit mengangkat pantatnya untuk memberi kemudahan celana dalamnya lepas. Dan dengan sekali sentakan kakinya, celana dalamnya sudah terlempar ke bawah.

Saat berikutnya, terhamparlah pemandangan yang luar biasa merangsangnya. Jembut Reni sungguh lebat dan subur sekali. Jembut itu mengitari bibir memek yang berwarna coklat tua. Sambil kembali menciumi kulit perut di sekitar pusarnya, tanganku mengelus-elus pahanya yang berkulit licin dan mulus. Elusanku pun ke arah dalam dan merangkak naik. Sampailah jari-jari tanganku di tepi kiri-kanan bibir luar memeknya. Tanganku pun mengelus-elus memeknya dengan dua jariku bergerak dan bawah ke atas. Dengan mata terpejam,Reni berinisiatif meremas-remas payudaranya sendiri. Tampak jelas kalau Reni sangat menikmati permainan ini.

Perlahan kusibak bibir memek Reni dengan ibu jari dan telunjukku mengarah ke atas sampai kelentitnya menongol keluar. Wajahku bergerak ke memeknya, sementara tanganku kembali memegangi payudaranya. Kujilati kelentit Reni perlahan-lahan dengan jilatan-jilatan pendek dan terputus-putus sambil satu tanganku mempermainkan puting payudaranya.

“Au Mas Bob... shhhhh... betul... betul di situ mas Bob... di situ... enak mas... shhhh...,” Ika mendesah-desah sambil matanya merem-melek. Bulu alisnya yang tebal dan indah bergerak ke atas-bawah mengimbangi gerakan merem-meleknya mata. Keningnya pun berkerut pertanda dia sedang mengalami kenikmatan yang semakin meninggi.

Aku meneruskan permainan lidah dengan melakukan jilatan-jilatan panjang dan lubang anus sampai ke kelentitnya.

Karena gerakan ujung hidungku pun secara berkala menyentuh memek Reni. Terasa benar bahkan dinding vaginanya mulai basah. Bahkan sebagian cairan vaginanya mulai mengalir hingga mencapai lubang anusnya. Sesekali pinggulnya bergetar. Di saat bergetar itu pinggulnya yang padat dan amat mulus kuremas kuat-kuat sambil ujung hidungku kutusukkan ke lobang memeknya.

“Mas Booob... enak sekali mas Bob...,” Reni mengerang dengan kerasnya. Aku segera memfokuskan jilatan-jilatan lidah serta tusukan-tusukan ujung hidung di vaginanya. Semakin lama vagina itu semakin basah saja. Dua jari tanganku lalu kumasukkan ke lobang memeknya. Setelah masuk hampir semuanya, jari kubengkokkan ke arah atas dengan tekanan yang cukup terasa agar kena ‘G-spot’-nya. Dan berhasil!

“Auwww... mas Bob...!” jerit Reni sambil menyentakkan pantat ke atas. sampai-sampai jari tangan yang sudah terbenam di dalam memek terlepas. Perut bawahnya yang ditumbuhi bulu-bulu jembut hitam yang lebat itu pun menghantam ke wajahku. Bau harum dan bau khas cairan vaginanya merasuk ke sel-sel syaraf penciumanku.

Aku segera memasukkan kembali dua jariku ke dalam vagina Reni dan melakukan gerakan yang sama. Kali ini aku mengimbangi gerakan jariku dengan permainan lidah di kelentit Reni. Kelentit itu tampak semakin menonjol sehingga gampang bagiku untuk menjilat dan mengisapnya. Ketika kelentit itu aku gelitiki dengan lidah serta kuisap-isap perlahan,Reni semakin keras merintih-rintih bagaikan orang yang sedang mengalami sakit demam. Sementara pinggulnya yang amat aduhai itu menggial ke kiri-kanan dengan sangat merangsangnya.

“Mas Bob... mas Bob... mas Bob...,” hanya kata-kata itu yang dapat diucapkan Reni karena menahan kenikmatan yang semakin menjadi-jadi.

Permainan jari-jariku dan lidahku di memeknya semakin bertambah ganas. Reni sambil mengerang¬-erang dan menggeliat-geliat meremas apa saja yang dapat dia raih. Meremas rambut kepalaku, meremas bahuku, dan meremas payudaranya sendiri.

“Mas Bob... Reni sudah tidak tahan lagi... Masukin konthol saja mas Bob... Ohhh... sekarang juga mas Bob...! Sshhh. . . ,“ erangnya sambil menahan nafsu yang sudah menguasai segenap tubuhnya.

Namun aku tidak perduli. Kusengaja untuk mempermainkan Reni terlebih dahulu. Aku mau membuatnya orgasme, sementara aku masih segar bugar. Karena itu lidah dan wajahku kujauhkan dan memeknya. Kemudian kocokan dua jari tanganku di dalam memeknya semakin kupercepat. Gerakan jari tanganku yang di dalam memeknya ke atas-bawah, sampai terasa ujung jariku menghentak-hentak dinding atasnya secara perlahan-lahan. Sementara ibu jariku mengusap-usap dan menghentak-hentak kelentitnya. Gerakan jari tanganku di memeknya yang basah itu sampai menimbulkan suara crrk-crrrk-crrrk-crrk crrrk... Sementara dan mulutnya keluar pekikan-pekikan kecil yang terputus-putus:

“Ah-ah-ah-ah-ah...”

Sementara aku semakin memperdahsyat kocokan jari-jariku di memeknya, sambil memandangi wajahnya. Mata Reni merem-melek, sementara keningnya berkerut-kerut.

Crrrk! Crrrk! Crrek! Crek! Crek! Crok! Crok! Suara yang keluar dan kocokan jariku di memeknya semakin terdengar keras. Aku mempertahankan kocokan tersebut. Dua menit sudah Reni mampu bertahan sambil mengeluarkan jeritan-jeritan yang membangkitkan nafsu. Payudaranya tampak semakin kencang dan licin, sedang putingnya tampak berdiri dengan tegangnya.

Sampai akhirnya tubuh Reni mengejang hebat. Pantatnya terangkat tinggi-tinggi. Matanya membeliak-¬beliak. Dan bibirnya yang sensual itu keluar jeritan hebat, “Mas Booo00oob ...!“ Dua jariku yang tertanam di dalam vagina Reni terasa dijepit oleh dindingnya dengan kuatnya. Seiring dengan keluar masuknya jariku dalam vaginanya, dan sela-sela celah antara tanganku dengan bibir memeknya terpancarlah **an cairan vaginanya dengan kuatnya. Prut! Prut! Pruttt! **an cairan tersebut sampai mencapai pergelangan tanganku.

Beberapa detik kemudian Reni terbaring lemas di atas karpet. Matanya memejam rapat. Tampaknya dia baru saja mengalami orgasme yang begitu hebat. Kocokan jari tanganku di vaginanya pun kuhentikan. Kubiarkan jari tertanam dalam vaginanya sampai jepitan dinding vaginanya terasa lemah. Setelah lemah. jari tangan kucabut dan memeknya. Cairan vagina yang terkumpul di telapak tanganku pun kubersihkan dengan kertas tissue.

Ketegangan kontholku belum juga mau berkurang. Apalagi tubuh telanjang Reni yang terbaring diam di hadapanku itu benar-benar aduhai. seolah menantang diriku untuk membuktikan kejantananku pada tubuh mulusnya. Aku pun mulai menindih kembali tubuh Reni, sehingga kontholku yang masih di dalam celana dalam tergencet oleh perut bawahku dan perut bawahnya dengan enaknya. Sementara bibirku mengulum-kulum kembali bibir hangat Reni, sambil tanganku meremas-remas payudara dan mempermainkan putingnya. Reni kembali membuka mata dan mengimbangi serangan bibirku. Tubuhnya kembali menggelinjang-gelinjang karena menahan rasa geli dan ngilu di payudaranya.

Setelah puas melumat-lumat bibir. wajahku pun menyusuri leher Reni yang mulus dan harum hingga akhirnya mencapai belahan dadanya. Wajahku kemudian menggeluti belahan payudaranya yang berkulit lembut dan halus, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua belah payudaranya. Segala kelembutan dan keharuman belahan dada itu kukecupi dengan bibirku. Segala keharuman yang terpancar dan belahan payudara itu kuhirup kuat-kuat dengan hidungku, seolah tidak rela apabila ada keharuman yang terlewatkan sedikitpun.

Kugesek-gesekkan memutar wajahku di belahan payudara itu. Kemudian bibirku bergerak ke atas bukit payudara sebelah kiri. Kuciumi bukit payudara yang membusung dengan gagahnya itu. Dan kumasukkan puting payudara di atasnya ke dalam mulutku. Kini aku menyedot-sedot puting payudara kiri Reni. Kumainkan puting di dalam mulutku itu dengan lidahku. Sedotan kadang kuperbesar ke puncak bukit payudara di sekitar puting yang berwarna coklat.

“Ah... ah... mas Bob... geli... geli ...,“ mulut indah Reni mendesis-desis sambil menggeliatkan tubuh ke kiri-kanan. bagaikan desisan ular kelaparan yang sedang mencari mangsa.

Aku memperkuat sedotanku. Sementara tanganku meremas-remas payudara kanan Reni yang montok dan kenyal itu. Kadang remasan kuperkuat dan kuperkecil menuju puncak bukitnya, dan kuakhiri dengan tekanan-tekanan kecil jari telunjuk dan ibu jariku pada putingnya.

“Mas Bob... hhh... geli... geli... enak... enak... ngilu... ngilu...”

Aku semakin gemas. Payudara aduhai Reni itu kumainkan secara bergantian, antara sebelah kiri dan sebelah kanan. Bukit payudara kadang kusedot besarnya-besarnya dengan tenaga isap sekuat-kuatnya, kadang yang kusedot hanya putingnya dan kucepit dengan gigi atas dan lidah. Belahan lain kadang kuremas dengan daerah tangkap sebesar-besarnya dengan remasan sekuat-kuatnya, kadang hanya kupijit-pijit dan kupelintir-pelintir kecil puting yang mencuat gagah di puncaknya.

“Ah... mas Bob... terus mas Bob... terus... hzzz... ngilu... ngilu...” Reni mendesis-desis keenakan. Hasratnya tampak sudah kembali tinggi. Matanya kadang terbeliak-beliak. Geliatan tubuhnya ke kanan-kini semakin sening fnekuensinya.

Sampai akhirnya Reni tidak kuat mehayani senangan-senangan keduaku. Dia dengan gerakan Cepat memehorotkan celana dalamku hingga tunun ke paha. Aku memaklumi maksudnya, segera kulepas Celana dalamku. Jan-jari tangan kanan Reni yang mulus dan lembut kemudian menangkap kontholku yang sudah berdiri dengan gagahnya. Sejenak dia memperlihatkan rasa terkejut.

“Edan... mas Bob, edan... Kontholmu besar sekali... Konthol pacan-pacanku dahulu dan juga konthol kak Dai tidak sampai sebesar in Edan... edan...,” ucapnya terkagum-kagum. Sambil membiankan mulut, wajah, dan tanganku terus memainkan dan menggeluti kedua belah payudaranya, jan-jari lentik tangan kanannya meremas¬remas perlahan kontholku secara berirama, seolah berusaha mencari kehangatan dan kenikmatan di hiatnya menana kejantananku. Remasannya itu mempenhebat vohtase dam rasa nikmat pada batang kontholku.

“Mas Bob. kita main di atas kasur saja...,” ajak Reni dengan sinar mata yang sudah dikuasai nafsu binahi.

Aku pun membopong tubuh telanjang Reni ke ruang dalam, dan membaringkannya di atas tempat tidun pacarku. Ranjang pacarku ini amat pendek, dasan kasurnya hanya terangkat sekitar 6 cm dari lantai. Ketika kubopong. Reni tidak mau melepaskan tangannya dari leherku. Bahkan, begitu tubuhnya menyentuh kasur, tangannya menanik wajahku mendekat ke wajahnya. Tak ayal lagi, bibirnya yang pink menekan itu melumat bibirku dengan ganasnya. Aku pun tidak mau mengalah. Kulumat bibirnya dengan penuh nafsu yang menggelora, sementara tanganku mendekap tubuhnya dengan kuatnya. Kuhit punggungnya yang halus mulus kuremas-remas dengan gemasnya.

Kemudian aku menindih tubuh Reni. Kontholku terjepit di antara pangkal pahanya yang mulus dan perut bawahku sendiri. Kehangatan kulit pahanya mengalir ke batang kontholku yang tegang dan keras. Bibirku kemudian melepaskan bibir sensual Reni. Kecupan bibirku pun turun. Kukecup dagu Reni yang bagus. Kukecup leher jenjang Reni yang memancarkan bau wangi dan segarnya parfum yang dia pakai. Kuciumi dan kugeluti leher indah itu dengan wajahku, sementara pantatku mulai bergerak aktif sehingga kontholku menekan dan menggesek-gesek paha Reni. Gesekan di kulit paha yang licin itu membuat batang kontholku bagai diplirit-plirit. Kepala kontholku merasa geli-geli enak oleh gesekan-gesekan paha Reni.

Puas menggeluti leher indah, wajahku pun turun ke buah dada montok Reni. Dengan gemas dan ganasnya aku membenamkan wajahku ke belahan dadanya, sementara kedua tanganku meraup kedua belah payudaranya dan menekannya ke arah wajahku. Keharuman payudaranya kuhirup sepuas-puasku. Belum puas dengan menyungsep ke belahan dadanya, wajahku kini menggesek-gesek memutar sehingga kedua gunung payudaranya tertekan-tekan oleh wajahku secara bergantian. Sungguh sedap sekali rasanya ketika hidungku menyentuh dan menghirup dalam-dalam daging payudara yang besar dan kenyal itu. Kemudian bibirku meraup puncak bukit payudara kiri Reni. Daerah payudara yang kecoklat-coklatan beserta putingnya yang pink kecoklat-coklatan itu pun masuk dalam mulutku. Kulahap ujung payudara dan putingnya itu dengan bernafsunya, tak ubahnya seperti bayi yang menetek susu setelah kelaparan selama seharian. Di dalam mulutku, puting itu kukulum-kulum dan kumainkan dengan lidahku.

“Mas Bob... geli... geli ...,“ kata Reni kegelian.

Aku tidak perduli. Aku terus mengulum-kulum puncak bukit payudara Reni. Putingnya terasa di lidahku menjadi keras. Kemudian aku kembali melahap puncak bukit payudara itu sebesar-besarnya. Apa yang masuk dalam mulutku kusedot sekuat-kuatnya. Sementara payudara sebelah kanannya kuremas sekuat-kuatnya

dengan tanganku. Hal tersebut kulakukan secara bergantian antara payudara kiri dan payudara kanan Reni. Sementara kontholku semakin menekan dan menggesek-gesek dengan beriramanya di kulit pahanya. Reni semakin menggelinjang-gelinjang dengan hebatnya.

“Mas Bob... mas Bob... ngilu... ngilu... hihhh... nakal sekali tangan dan mulutmu... Auw! Sssh... ngilu... ngilu...,” rintih Ika. Rintihannya itu justru semakin mengipasi api nafsuku. Api nafsuku semakin berkobar-kobar. Semakin ganas aku mengisap-isap dan meremas-remas payudara montoknya. Sementara kontholku berdenyut-denyut keenakan merasakan hangat dan licinnya paha Reni.

Akhirnya aku tidak sabar lagi. Kulepaskan payudara montok Reni dari gelutan mulut dan tanganku. Bibirku kini berpindah menciumi dagu dan lehernya, sementara tanganku membimbing kontholku untuk mencari liang memeknya. Kuputar-putarkan dahulu kepala kontholku di kelebatan jembut di sekitar bibir memek Reni. Bulu-bulu jembut itu bagaikan menggelitiki kepala kontholku. Kepala kontholku pun kegelian. Geli tetapi enak.

“Mas Bob... masukkan seluruhnya mas Bob... masukkan seluruhnya... Mas Bob belum pernah merasakan memek Mbak Dina kan? Mbak Dina orang kuno... tidak mau merasakan konthol sebelum nikah. Padahal itu surga dunia... bagai terhempas langit ke langit ketujuh. mas Bob...”

Jan-jari tangan Reni yang lentik meraih batang kontholku yang sudah amat tegang. Pahanya yang mulus itu dia buka agak lebar.

“Edan... edan... kontholmu besar dan keras sekali, mas Bob...,” katanya sambil mengarahkan kepala kontholku ke lobang memeknya.

Sesaat kemudian kepala kontholku menyentuh bibir memeknya yang sudah basah. Kemudian dengan perlahan-lahan dan sambil kugetarkan, konthol kutekankan masuk ke liang memek. Kini seluruh kepala kontholku pun terbenam di dalam memek. Daging hangat berlendir kini terasa mengulum kepala kontholku dengan enaknya.

Aku menghentikan gerak masuk kontholku.

“Mas Bob... teruskan masuk, Bob... Sssh... enak... jangan berhenti sampai situ saja...,” Reni protes atas tindakanku. Namun aku tidak perduli. Kubiarkan kontholku hanya masuk ke lobang memeknya hanya sebatas kepalanya saja, namun kontholku kugetarkan dengan amplituda kecil. Sementara bibir dan hidungku dengan ganasnya menggeluti lehernya yang jenjang, lengan tangannya yang harum dan mulus, dari ketiaknya yang bersih dari bulu ketiak.Reni menggelinjang-gelinjang dengan tidak karuan.

“Sssh... sssh... enak... enak... geli... geli, mas Bob. Geli... Terus masuk, mas Bob...”

Bibirku mengulum kulit lengan tangannya dengan kuat-kuat. Sementara gerakan kukonsentrasikan pada pinggulku. Dan... satu... dua... tiga! Kontholku kutusukkan sedalam-dalamnya ke dalam memek Reni dengan sangat cepat dan kuatnya. Plak! Pangkal pahaku beradu dengan pangkal pahanya yang mulus yang sedang dalam posisi agak membuka dengan kerasnya. Sementara kulit batang kontholku bagaikan diplirit oleh bibir dan daging lobang memeknya yang sudah basah dengan kuatnya sampai menimbulkan bunyi: srrrt!

“Auwww!” pekik Reni.

Aku diam sesaat, membiarkan kontholku tertanam seluruhnya di dalam memek Reni tanpa bergerak sedikit pun.

“Sakit mas Bob... Nakal sekali kamu... nakal sekali kamu....” kata Reni sambil tangannya meremas punggungku dengan kerasnya.

Aku pun mulai menggerakkan kontholku keluar-masuk memek Reni. Aku tidak tahu, apakah kontholku yang berukuran panjang dan besar ataukah lubang memek Reni yang berukuran kecil. Yang saya tahu, seluruh bagian kontholku yang masuk memeknya serasa dipijit-pijit dinding lobang memeknya dengan agak kuatnya. Pijitan dinding memek itu memberi rasa hangat dan nikmat pada batang kontholku.

“Bagaimana Reni, sakit?” tanyaku


“Sssh... enak sekali... enak sekali... Barangmu besar dan panjang sekali... sampai-sampai menyumpal penuh seluruh penjuru lobang memekku...,” jawab Reni .


Aku terus memompa memek Reni  dengan kontholku perlahan-lahan. Payudara kenyalnya yang menempel di dadaku ikut terpilin-pilin oleh dadaku akibat gerakan memompa tadi. Kedua putingnya yang sudah mengeras seakan-akan mengkilik-kilik dadaku yang bidang. Kehangatan payudaranya yang montok itu mulai terasa mengalir ke dadaku. Kontholku serasa diremas-remas dengan berirama oleh otot-otot memeknya sejalan dengan genjotanku tersebut. Terasa hangat dan enak sekali. Sementara setiap kali menusuk masuk kepala kontholku menyentuh suatu daging hangat di dalam memek Reni. Sentuhan tersebut serasa menggelitiki kepala konthol sehingga aku merasa sedikit kegelian. Geli-geli nikmat.


Kemudian aku mengambil kedua kakinya yang kuning langsat mulus dan mengangkatnya. Sambil menjaga agar kontholku tidak tercabut dari lobang memeknya, aku mengambil posisi agak jongkok. Betis kanan Reni kutumpangkan di atas bahuku, sementara betis kirinya kudekatkan ke wajahku. Sambil terus mengocok memeknya perlahan dengan kontholku, betis kirinya yang amat indah itu kuciumi dan kukecupi dengan gemasnya. Setelah puas dengan betis kiri, ganti betis kanannya yang kuciumi dan kugeluti, sementara betis kirinya kutumpangkan ke atas bahuku. Begitu hal tersebut kulakukan beberapa kali secara bergantian, sambil mempertahankan rasa nikmat di kontholku dengan mempertahankan gerakan maju-mundur perlahannya di memek Reni.

Setelah puas dengan cara tersebut, aku meletakkan kedua betisnya di bahuku, sementara kedua telapak tanganku meraup kedua belah payudaranya. Masih dengan kocokan konthol perlahan di memeknya, tanganku meremas-remas payudara montok Reni. Kedua gumpalan daging kenyal itu kuremas kuat-kuat secara berirama. Kadang kedua putingnya kugencet dan kupelintir-pelintir secara perlahan. Puting itu semakin mengeras, dan bukit payudara itu semakin terasa kenyal di telapak tanganku.Reni pun merintih-rintih keenakan. Matanya merem-melek, dan alisnya mengimbanginya dengan sedikit gerakan tarikan ke atas dan ke bawah.

“Ah... mas Bob, geli... geli... Tobat... tobat... Ngilu mas Bob, ngilu... Sssh... sssh... terus mas Bob, terus.... Edan... edan... kontholmu membuat memekku merasa enak sekali... Nanti jangan di**kan di luar memek, mas Bob. Nyemprot di dalam saja... aku sedang tidak subur...”

Aku mulai mempercepat gerakan masuk-keluar kontholku di memek Reni.

“Ah-ah-ah... benar, mas Bob. benar... yang cepat... Terus mas Bob, terus...”

Aku bagaikan diberi spirit oleh rintihan-rintihan Reni. tenagaku menjadi berlipat ganda. Kutingkatkan kecepatan keluar-masuk kontholku di memek Reni. Terus dan terus. Seluruh bagian kontholku serasa diremas¬-remas dengan cepatnya oleh daging-daging hangat di dalam memek Reni. Mata Reni menjadi merem-melek dengan cepat dan indahnya. Begitu juga diriku, mataku pun merem-melek dan mendesis-desis karena merasa keenakan yang luar biasa.

“Sssh... sssh... Reni... enak sekali... enak sekali memekmu... enak sekali memekmu...”

“Ya mas Bob, aku juga merasa enak sekali... terusss... terus mas Bob, terusss...”

Aku meningkatkan lagi kecepatan keluar-masuk kontholku pada memeknya. Kontholku terasa bagai diremas-remas dengan tidak karu-karuan.

“Mas Bob... mas Bob... edan mas Bob, edan... sssh... sssh... Terus... terus... Saya hampir keluar nih mas Bob...

sedikit lagi... kita keluar sama-sama ya Booob...,” Reni jadi mengoceh tanpa kendali.

Aku mengayuh terus. Aku belum merasa mau keluar. Namun aku harus membuatnya keluar duluan. Biar perempuan Sunda yang molek satu ini tahu bahwa lelaki Jawa itu perkasa. Biar dia mengakui kejantanan orang Jawa yang bernama mas Bobby. Sementara kontholku merasakan daging-daging hangat di dalam memek Reni bagaikan berdenyut dengan hebatnya.

“Mas Bob... mas Bobby... mas Bobby...,” rintih Reni. Telapak tangannya memegang kedua lengan tanganku seolah mencari pegangan di batang pohon karena takut jatuh ke bawah.

lbarat pembalap, aku mengayuh sepeda balapku dengan semakin cepatnya. Bedanya, dibandingkan dengan pembalap aku lebih beruntung. Di dalam “mengayuh sepeda” aku merasakan keenakan yang luar biasa di sekujur kontholku. Sepedaku pun mempunyai daya tarik tersendiri karena mengeluarkan rintihan-rintihan keenakan yang tiada terkira.

“Mas Bob... ah-ah-ah-ah-ah... Enak mas Bob, enak... Ah-ah-ah-ah-ah... Mau keluar mas Bob... mau keluar... ah-ah-ah-ah-ah... sekarang ke-ke-ke...”

Tiba-tiba kurasakan kontholku dijepit oleh dinding memek Reni dengan sangat kuatnya. Di dalam memek, kontholku merasa di** oleh cairan yang keluar dari memek Reni dengan cukup derasnya. Dan telapak tangan Reni meremas lengan tanganku dengan sangat kuatnya. Mulut sensual Reni pun berteriak tanpa kendali:

“...keluarrr...!”

Mata Reni membeliak-beliak. Sekejap tubuh Reni kurasakan mengejang.

Aku pun menghentikan genjotanku. Kontholku yang tegang luar biasa kubiarkan diam tertanam dalam memek Reni. Kontholku merasa hangat luar biasa karena terkena **an cairan memek Reni. Kulihat mata Reni kemudian memejam beberapa saat dalam menikmati puncak orgasmenya.

Setelah sekitar satu menit berlangsung, remasan tangannya pada lenganku perlahan-lahan mengendur. Kelopak matanya pun membuka, memandangi wajahku. Sementara jepitan dinding memeknya pada kontholku berangsur-angsur melemah. walaupun kontholku masih tegang dan keras. Kedua kaki Reni lalu kuletakkan kembali di atas kasur dengan posisi agak membuka. Aku kembali menindih tubuh telanjang Reni dengan mempertahankan agar kontholku yang tertanam di dalam memeknya tidak tercabut.

“Mas Bob... kamu luar biasa... kamu membawaku ke langit ke tujuh,” kata Reni dengan mimik wajah penuh kepuasan. “Kak Dai dan pacar-pacarku yang dulu tidak pernah membuat aku ke puncak orgasme seperti ml. Sejak Mbak Dina tinggal di sini, Reni suka membenarkan mas Bob saat berhubungan dengan Kak Dai.”

Aku senang mendengar pengakuan Reni itu. berarti selama aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku selalu membayangkan kemolekan tubuh Reni dalam masturbasiku, sementara dia juga membayangkan kugeluti

dalam onaninya. Bagiku. Dina bagus dijadikan istri dan ibu anak-anakku kelak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuh aduhai Reni enak digeluti dan digenjot dengan penuh nafsu.

“Mas Bob... kamu seperti yang kubayangkan. Kamu jantan... kamu perkasa... dan kamu berhasil membawaku ke puncak orgasme. Luar biasa nikmatnya...”

Aku bangga mendengar ucapan Reni. Dadaku serasa mengembang. Dan bagai anak kecil yang suka pujian, aku ingin menunjukkan bahwa aku lebih perkasa dari dugaannya. Perempuan Sunda ini harus kewalahan menghadapi genjotanku. Perempuan Sunda ini harus mengakui kejantanan dan keperkasaanku. Kebetulan aku saat ini baru setengah perjalanan pendakianku di saat Reni sudah mencapai orgasmenya. Kontholku masih tegang di dalam memeknya. Kontholku masih besar dan keras, yang hams menyemprotkan pelurunya agar kepalaku tidak pusing.

Aku kembali mendekap tubuh mulus Reni, yang di bawah sinar lampu kuning kulit tubuhnya tampak sangat mulus dan licin. Kontholku mulai bergerak keluar-masuk lagi di memek Reni, namun masih dengan gerakan perlahan. Dinding memek Reni secara berargsur-angsur terasa mulai meremas-remas kontholku. Terasa hangat dan enak. Namun sekarang gerakan kontholku lebih lancar dibandingkan dengan tadi. Pasti karena adanya cairan orgasme yang di**kan oleh memek Reni beberapa saat yang lalu.

“Ahhh... mas Bob... kau langsung memulainya lagi... Sekarang giliranmu... **kan air manimu ke dinding-dinding memekku... Sssh...,” Reni mulai mendesis-desis lagi.

Bibirku mulai memagut bibir merekah Reni yang amat sensual itu dan melumat-lumatnya dengan gemasnya. Sementara tangan kiriku ikut menyangga berat badanku, tangan kananku meremas-remas payudara montok Reni serta memijit-mijit putingnya, sesuai dengan mama gerak maju-mundur kontholku di memeknya.

“Sssh... sssh... sssh... enak mas Bob, enak... Terus... teruss... terusss...,” desis bibir Reni di saat berhasil melepaskannya dari serbuan bibirku. Desisan itu bagaikan mengipasi gelora api birahiku.

Sambil kembali melumat bibir Reni dengan kuatnya, aku mempercepat genjotan kontholku di memeknya. Pengaruh adanya cairan di dalam memek Reni, keluar-masuknya konthol pun diiringi oleh suara, “srrt-srret srrrt-srrret srrt-srret...” Mulut Reni di saat terbebas dari lumatan bibirku tidak henti-hentinya mengeluarkan rintih kenikmatan,

“Mas Bob... ah... mas Bob... ah... mas Bob... hhb... mas Bob... ahh...”

Kontholku semakin tegang. Kulepaskan tangan kananku dari payudaranya. Kedua tanganku kini dari ketiak Reni menyusup ke bawah dan memeluk punggung mulusnya. Tangan Reni pun memeluk punggungku dan mengusap-usapnya. Aku pun memulai serangan dahsyatku. Keluar-masuknya kontholku ke dalam memek Reni sekarang berlangsung dengan cepat dan berirama. Setiap kali masuk, konthol kuhunjamkan keras-keras agar menusuk memek Reni sedalam-dalamnya. Dalam perjalanannya, batang kontholku bagai diremas dan dihentakkan kuat-kuat oleh dinding memek Reni. Sampai di langkah terdalam, mata Reni membeliak sambil bibirnya mengeluarkan seruan tertahan, “Ak!” Sementara daging pangkal pahaku bagaikan menampar daging pangkal pahanya sampai berbunyi: plak! Di saat bergerak keluar memek, konthol kujaga agar kepalanya yang mengenakan helm tetap tertanam di lobang memek. Remasan dinding memek pada batang kontholku pada gerak keluar ini sedikit lebih lemah dibanding dengan gerak masuknya. Bibir memek yang mengulum batang kontholku pun sedikit ikut tertarik keluar, seolah tidak rela bila sampai ditinggal keluar oleh batang kontholku. Pada gerak keluar ini Bibir Reni mendesah, “Hhh...”

Aku terus menggenjot memek Reni dengan gerakan cepat dan menghentak-hentak. Remasan yang luar biasa kuat, hangat, dan enak sekali bekerja di kontholku. Tangan Reni meremas punggungku kuat-kuat di saat kontholku kuhunjam masuk sejauh-jauhnya ke lobang memeknya. beradunya daging pangkal paha menimbulkan suara: Plak! Plak! Plak! Plak! Pergeseran antara kontholku dan memek Reni menimbulkan bunyi srottt-srrrt... srottt-srrrt... srottt-srrrtt... Kedua nada tersebut diperdahsyat oleh pekikan-pekikan kecil yang merdu yang keluar dari bibir Reni:

“Ak! Uhh... Ak! Hhh... Ak! Hhh...”

Kontholku terasa empot-empotan luar biasa. Rasa hangat, geli, dan enak yang tiada tara membuatku tidak kuasa menahan pekikan-pekikan kecil:

“Reni... Ren... edan... edan... Enak sekali Reni... Memekmu enak sekali... Memekmu hangat sekali... edan... jepitan memekmu enak sekali...”

“Mas Bob... mas Bob... terus mas Bob rintih Reni, “enak mas Bob... enaaak... Ak! Ak! Ak! Hhh... Ak! Hhh... Ak! Hhh...”

Tiba-tiba rasa gatal menyelimuti segenap penjuru kontholku. Gatal yang enak sekali. Aku pun mengocokkan kontholku ke memeknya dengan semakin cepat dan kerasnya. Setiap masuk ke dalam, kontholku berusaha menusuk lebih dalam lagi dan lebih cepat lagi dibandingkan langkah masuk sebelumnya. Rasa gatal dan rasa enak yang luar biasa di konthol pun semakin menghebat.

“Reni... aku... aku...” Karena menahan rasa nikmat dan gatal yang luar biasa aku tidak mampu menyelesaikan ucapanku yang memang sudah terbata-bata itu.

“Mas Bob... mas Bob... mas Bob! Ak-ak-ak... Aku mau keluar lagi... Ak-ak-ak... aku ke-ke-ke...”

Tiba-tiba kontholku mengejang dan berdenyut dengan amat dahsyatnya. Aku tidak mampu lagi menahan rasa gatal yang sudah mencapai puncaknya. Namun pada saat itu juga tiba-tiba dinding memek Reni mencekik kuat sekali. Dengan cekikan yang kuat dan enak sekali itu. aku tidak mampu lagi menahan jebolnya bendungan dalam alat kelaminku.

Pruttt! Pruttt! Pruttt! Kepala kontholku terasa di** cairan memek Reni, bersamaan dengan pekikan Reni, “...keluarrrr...!” Tubuh Reni mengejang dengan mata membeliak-beliak.

“Reni...!” aku melenguh keras-keras sambil merengkuh tubuh Reni sekuat-kuatnya, seolah aku sedang berusaha rnenemukkan tulang-tulang punggungnya dalam kegemasan. Wajahku kubenamkan kuat-kuat di lehernya yang jenjang. Cairan spermaku pun tak terbendung lagi.

Crottt! Crott! Croat! Spermaku bersemburan dengan derasnya, menyemprot dinding memek Reni yang terdalam. Kontholku yang terbenam semua di dalam kehangatan memek Reni terasa berdenyut-denyut.

Beberapa saat lamanya aku dan Reni terdiam dalam keadaan berpelukan erat sekali, sampai-sampai dari alat kemaluan, perut, hingga ke payudaranya seolah terpateri erat dengan tubuh depanku. Aku menghabiskan sisa-sisa sperma dalam kontholku. Cret! Cret! Cret! Kontholku menyemprotkan lagi air mani yang masih tersisa ke dalam memek Reni. Kali ini **annya lebih lemah.

Perlahan-lahan tubuh Reni dan tubuhku pun mengendur kembali. Aku kemudian menciumi leher mulus Reni dengan lembutnya, sementara tangan Reni mengusap-usap punggungku dan mengelus-elus rambut kepalaku. Aku merasa puas sekali berhasil bermain seks dengan Reni. Pertama kali aku bermain seks, bidadari lawan mainku adalah perempuan Sunda yang bertubuh kenyal, berkulit kuning langsat mulus, berpayudara besar dan padat, berpinggang ramping, dan berpinggul besar serta aduhai. Tidak rugi air maniku diperas habis-habisan pada pengalaman pertama ini oleh orang semolek Reni.

“Mas Bob... terima kasih mas Bob. Puas sekali saya. indah sekali... sungguh... enak sekali,” kata Reni lirih.

Aku tidak memberi kata tanggapan. Sebagai jawaban, bibirnya yang indah itu kukecup mesra. Dalam keadaan tetap telanjang, kami berdekapan erat di atas tempat tidur pacarku. Dia meletakkan kepalanya di atas dadaku yang bidang, sedang tangannya melingkar ke badanku. Baru ketika jam dinding menunjukkan pukul 22:00, aku dan Reni berpakaian kembali. Reni sudah tahu kebiasaanku dalam mengapeli Dina, bahwa pukul 22:00 aku pulang ke tempat kost-ku sendiri.

Sebelum keluar kamar, aku mendekap erat tubuh Reni dan melumat-lumat bibirnya beberapa saat.

“Mas Bob... kapan-kapan kita mengulangi lagi ya mas Bob... Jangan khawatir, kita tanpa Ikatan.Reni akan selalu merahasiakan hal ini kepada siapapun, termasuk ke Kak Dai dan Mbak Dina. Reni puas sekali bercumbu dengan mas Bob,” begitu kata Reni.

Aku pun mengangguk tanda setuju. Siapa sih yang tidak mau diberi kenikmatan secara gratis dan tanpa ikatan? Akhirnya dia keluar dari kamar dan kembali masuk ke rumahnya lewat pintu samping. Lima menit kemudian aku baru pulang ke tempat kost-ku.